iklan

Rindu Senja


Aku percaya rasa ini tak salah kak, insan selain aku yang membuat semua ini seakan nista. Seperti dia yang merenggut semuanya mencipta paradigma kenistaan rasa.

Aku lupa ini tahun keberapa sejak rasa itu ada, Muncul sederhana dari obrolan-obrolan kecil diantara buku sastra dibangku belakang. Kala itu aku masih ingusan, yang aku tahu hanya surga ketika aku berada disamping kakak. Apalagi ketika  mulai bicara soal puisi, ada angin segar di otakku.

Walau hujan, ayah tetap pergi ke kantor

Walau hujan, ibu tetap pergi ke pasar

Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah

Karena hujan adalah rahmat Tuhan


Puisi sederhana ini selalu terngiang hingga kini dan selalu punya cerita. 

Walau hujan, aku tetap pergi ke sekolah
Karena hujan adalah rahmat tuhan


Pada kedua bait tersebut mempunyai sebuah kenangan yang begitu mendalam. Kala itu hujan turun dengan derasnya, hanya tersisa aku dengan segala kerinduan akan jas hujan yang terlupa di meja rumah. Terlihat dari luar sesosok perempuan dengan buku di hadapanya. Sepertinya ia juga menunggu hujan reda. Hampa, kata yang tertulis di cover depan.

Kak boleh aku gabung?

Oh silahkan, nunggu hujan?

Iya kak, kakak nunggu juga?

Enggak, menunggu senja!

Bukannya ini hujan kak?

Iya, makanya aku tetap disini menunggu ia datang

Ndak takut kemalaman kak?

Sudah biasa, Aku selalu disini setiap hari. Entah mengapa aku selalu enggan pulang sebelum berjumpa dengannya.

Kakak suka senja?

Tidak

Trus kenapa harus menunggu?

Aku benci senja! Karena dia aku jadi seperti ini. Aku tak kuasa seharipun tak melihatnya, walau itu hanya sebentar.

Bukannya ditempat lain juga bisa liat senja?

Beda, disinilah aku menemukan senja pertamaku. Disini pulalah aku menyadari bahwa aku benci senja. Dulu dia selalu datang padaku, hingga suatu saat dia meninggalkanku dengan janji yang aku ucap.


Janji?

Iya, aku janji akan menunggunya sampai dia kembali

Kemana dia pergi?

Entah, dia pergi begitu saja menghilang bagai angin

Kapan terakhir kali kakak berjumpa?

Itu terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, sebelum dinding itu menutupinya. Dulu dari sanalah dia selalu muncul, Menyingsing perlahan pulang. Dulu dia selalu datang dengan senyum yang begitu dalam. Bagai kekasih yang lama tak jumpa kekasihnya setelah pulang dari perantauannya.

Kak maaf, beberapa puluh tahun yang lalu?

Iya, dan selama itulah aku setia menanti disini sampai saat yang akan kunanti tiba........

iklan

" Belum dapat kukenali mana kopiku dan mana senyummu yang tawar tanpa gula bagai obat pengantar luka "