iklan

Kaleodoskop diri: Menatap Apa Yang Dirasa



http://otnairahiwa.blogspot.com


Kita kerap menjelma orang lain. Lebih sering menghambur-hamburkan citra, mengutamakan yang tampak dimuka dan mengesampingkan nurani.

Kita akan meniup terompet tahun baru lagi sembari mengingat apa yang sudah diperbuat dan merancang apa yang akan dilakukan berikutnya. Satu hal pastinya, bukankah setiap kita menginginkan sebuah perubahan? Selalu ingin lebih baik dari apa yang sudah diraih. Lebih bahagia dari apa yang telah dicapai, dan tentu lebih indah dari yang sudah dibuat. 

Namun tanpa disadari kita hanya diam. Seolah bergerak maju namun kenyataanya jalan ditempat. Kita sibuk mengejar apa yang nampak dimata. Tanpa kita tahu bahwa dalam di dalam diri ada suara-suara yang berteriak berontak. "Ini bukan saya!". Bersandiwara layaknya memainkan sebuah drama. Hasilnya, kita akan terlihat menyenangkan. Padahal kesepian.

Kita orang yang bisa melihat namun buta.

Kita punya hati tapi tidak merasa.

Kita punya telinga tapi tidak mendengar.

Kita punya semuanya

Tapi kita lupa

Kalau kita punya

Semuanya

Kita itu adalah saya. Tulisan ini sengaja dibuat sebagai cermin bagaimana perjalanan yang saya lalui tahun ini sebagai bahan bakar perjalanan ditahun selanjutnya. Semoga kita senantiasa dinaungi kesadaran untuk selalu menjadi kita yang seutuhnya. bukan bersandiwara menjadi dia ataupun menjadi diri mereka.

Kita terlihat begitu melesat tapi kenyataannya kita tidak kemana-mana.

Kilas


http://otnairahiwa.blogspot.com

Menua  bukan berarti mengerti segalanya. Pohon itu terus saja berlari menuju langit. Menggapai setiap mimpi yang terus ia pelihara sejak biji, berkembang bersama  tunas,  berbunga, kemudian berbuah sembari terus saja berlari. Daun-daun miliknya pun mulai semakin berjumlah. Berirama dengan mimpi yang semakin hari semakin bertambah.

 "Apa yang kini kau dapat?"

"Entahlah, aku merasa sangat kesepian disini!"

"Lihatlah kesana, di atasmu, Kita harus bergegas berlari mendekati pohon itu. Mungkin disana akan berbeda"

"Kira-kira berapa ketinggiannya?"

"Sekitar 10 meter"

"Baiklah, semoga saja!"

Pohon itu kembali berlari berharap mimpi yang ia yakini dapat segera dia dapati. DIa benar-benar  menolak sunyi. Karena kesunyian baginya adalah kematian. Dan dia menolak untuk mati. Karena dia adalah sebuah pohon yang tinggi. Bukan rumput teki. Bukan pula seledri.

Sebenarnya hidupnya bisa saja tak sesunyi ini jika saja ia tidak terus meninggi. Dulu waktu ia setinggi rumput teki hidupnya sangat bahagia. Bercengkrama bebas dengan siapa saja. Tanpa bersekat tanpa berjarak. Hingga akhirnya jauh berlabuh. Terus menjauh hingga ia merasa jenuh.


"Kau semakin tinggi saja!"

"Jangan seperti itu, kita hanya berbeda tinggi beberapa senti saja, selebihnya kita sama!"

"Ah, masih saja kau suka bercanda!"

Tapi, bagaimana pun, pohon itu memang digariskan berbeda. Karena dia adalah pohon yang tinggi. Bukan rumput teki, bukan pula seledri. Ada mimpi yang harus dikejarnya menuju langit yang lebih tinggi dari tubuhnya. Hingga akhirnya perpisahan dirasa adalah jalan keluar yang paling sempurna.

"Selamat, barangkali mulai saat ini aku akan nampak semakin mengerdil. Dan Kau akan semakin meninggi tanpa ada yang mampu menghalangi. Berlarilah. Pelihara mimpimu, bukankah langit adalah tujuanmu?"

"Baiklah, sabdamu kan ku jaga. Seperti inginmu, seperti mimpi-mimpi kita"

Perpisahan adalah sebuah luka. Namun tidak akan berarti apa-apa jika keduanya sepakat untuk tidak seirama.

iklan

" Belum dapat kukenali mana kopiku dan mana senyummu yang tawar tanpa gula bagai obat pengantar luka "