Takut
Aku takut memandang wajahmu
kata orang, cinta pandangan pertama
dan aku orang yang mudah menitipkan rasa
meskipun tak selalu berbalas, aku menikmatinya
Aku takut melihat mata sayu milikmu
bukan sebuah kebetulan jika ada peribahasa “dari mata turun ke hati”
bukankah mata adalah pembunuh paling sempurna?
mata jua yang memaksa hati untuk menitipkan asa dan harapan pada insan yang lain
saat semua hanya ilusi semu, maka lara hanya hati yang menanggungnya
“sayatan yang sempurna dan rasa sakit yang paripurna” gumam hati dalam sesaknya nestapa
Aku takut kamu tersenyum padaku
karna satu senyum berbilang makna, beratus kata yang dirangkum,
beribu makna terselubung, bahkan sejuta dendam tersembunyi di gelapnya sanubari
Aku takut kenal kamu
dengan mengenalmu akan membuatku bertindak jauh
terkesan kebablasan, bahkan sedikit urakan
pin BB, nomor hape, hingga ukuran sepatu
Aku takut untuk “biasa” denganmu
cinta selalu dimulai dari cita yang biasa,
angan yang biasa hadir dalam mimpi,
hingga pertemuan biasa yang tak sengaja
bukan pertemuan yang aku sesalkan,
namun rasa tak biasa di saat tatap muka
rasa tak biasa dan melanglang buana menembus mega dan menelusup ke dalamnya pembuluh vena dan aorta
itu menyiksa, Kekasih
Aku takut kamu kagum dengan kebaikanku, kemurahan hatiku
karena suatu hari nanti, kamu akan marah dengan sikapku yang tak bisa berkata tidak kepada semuanya
Aku takut kita pacaran
nanti kan berujung pertanyaan kapan lamaran
bukannya aku tak ingin memberi kepastian, Kekasih
pengetahuanku berbatas bahwa kepastian adalah Tuhan
dalam Tuhan kepastian hadir, dalam kepastian Tuhan ada
jelas bukan, Kekasih? aku mampu bersamamu hari ini
namun entah esok, lusa dan seterusnya
aku fana, tak berdaya dan tua
Aku takut kita berteman
teman selalu berujung dekat
dekat berakibat melekat
hingga tiada sekat
lalu akan tiba masanya kita saling menghindar
demi menjaga sebuah ikatan yang dinamai “sahabat”
Aku takut menikahimu
titah guruku, menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kau bisa rencanakan menikah dengan siapa, namun tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa
aku berencana menikahimu, namun jika saat cinta hadir dan ternyata bukan untukkmu, bajingan kah diriku, Kekasih?
lalu kamu menggila, berteriak “bukankah kamu berjanji di hadapan orang tuaku? dihadapan Tuhan? bahwa kita akan bersama?”
“kamu menikahiku karna kamu cinta padaku, to? aku milikmu, kamu milikku?”
ini membuatku khawatir, Kekasih
kita akan saling “mendasarkan” segala hal pada “cinta”
aku cinta padamu, maka aku menikah denganmu
jika aku lupa tanggal ulang tahunmu, maka aku tak cinta (lagi) padamu
uang yang kubawa tak cukup untuk beli gincu, aku tak cinta padamu
si sulung menangis minta layangan online, aku tak cinta padamu
bertemu kawan lawas, sedikit lebih lama untuk melepas rindu, itu juga artinya tak cinta padamu
Aku takut untuk hidup bersamamu, satu atap, satu tempat yang sama
kamu akan mulai rewel tentang cucian kotor, hujan yang tak berhenti dan parfum baru yang kubeli
Aku takut menua bersamamu
akan tiba saat kita sama-sama cerewet soal waktu
waktu yang cepat berlalu
tentang waktu yang tak memberi kesempatan
kita jadi insan yang tak berterimakasih
bukankah waktu jua yang buat kita beremu, sayang?
Namun...
Aku takkan pernah takut untuk bercerita
mendaras puisi, melenggokkan kanvas, hingga memuntahkan monolog
yang tentu saja tentang kamu, Kekasih
Cerita tentang kamu yang tak pernah membuatku takut
perkara kamu milikku atau tidak
bersamaku atau bersama insan lain
tak jadi soal
Sudah kubilang, cerita tentangmu tak pernah menakutiku.
*Sajak sederhana milik kawan lama, barang kali berkenan berjumpa melalui akun pribadinya, Fahmi Muhammad Fadhel