Lensa, Cerita, dan Kenangan
Dalam sebuah foto, tersimpan berjuta cerita. Cerita yang berujung kenangan. Entah pahit atau manis. Karna itu aku mencoba mengabadikan kenangan. Membingkai sebuah cerita dalam satu "jepretan", dituntut dan menuntut, merekam segala detail yang ada dalam satu bingkai yang utuh. Ekspresi, Lokasi, hingga Interaksi di dalam sebuah foto mesti dijelaskan. Meski terkadang kenangan milikku tak slalu berujung bahagia karena cerita milikku pun tak luput dari derita.
Meski aku hanya berkesempatan melihat dibalik lensa, namun aku berfikir bahwa mereka harus disadarkan. Sadar bahwa kamu sedang bercerita. Sadar bahwa kenangan yang terpatri takkan mudah pergi. Sadar bahwa kenanganmu adalah milikmu. Jika kenangan milikmu membuat orang dekatmu cemburu, katakanlah "aku mengenang ceritaku sendiri, kamu pun berhak melakukan hal yang sama". Namun perlu engkau tahu setiap kenangan mempunyai hak untuk dikenang. Bukan tak bisa atau tak mau melupakan, aku berusaha mengambil pelajaran dari setiap jejak-jejak yang kutinggalkan di masa lalu. Entah senang, sedih, bahagia, nestapa aku nyaman dengan "skenario" dari Sang penguasa semesta.
Saat ini aku denganmu. Namun esok siapa yang tahu, Kekasih? Saat ini aku membuat kisah denganmu. Menggoreskan tinta demi lakon yang esok hari pasti menjadi sebuah kenangan. Karena kenangan dan ingatan itu menyatu. Meskipun samar, ingatan dan kenangan adalah penggerak tubuh untuk berbuat "sesuatu".
-Fadhel
Sisa-sisa Keriuhan Kemerdekaan
Apa yang kau rasakan ketika melihat apa yang mereka lakukan? Senyum tawanya? Ataukah perjuangannya menyelesaikan perlombaan yang hadiahnya hanya beberapa buah buku saja? Ataukah kau justru merasa berdebar ketika tak sengaja fikiranmu membuka berlembar-lembar kenangan akan masa lalumu yang usang tebal berdebu? Entahlah, Aku tak ingin menerka-nerka apa jawabmu tentangnya. Karena menerka sama halnya menebak-nebak skor bola, akan muncul kecewa jika kau salah menerkanya. Namun jika kau bertanya padaku tentangnya, aku akan menjawabnya. Aku rindu kawan-kawan kecilku dulu.
Masih terbesit dalam ingatanku, Dulu saat kami masih sibuk dengan pistol-pistolan, main perawat-perawatan, main tentara tentaraan, kami pernah mempunyai angan akan kecil bersama, tumbuh besar bersama, dewasa bersama kemudian akan menua bersama. Layaknya cinta monyet, begitu pula angan-angan kami dulu. Tapi aku tak tau masih ingatkah mereka dengan semua itu.
Lihatlah mereka, mangga-mangga muda yang siap untuk matang. Menunggu dan sabar menerima polesan-polesan alam akan sebuah kerelaan dan tanggung jawab menjadi sebuah jembatan perantara muda-tua hingga nantinya siap dipetik oleh sang empunya. Melihat semangatnya membuatku iri, dulu kami tak sehebat mereka tak jua setangguh mereka. Bukan karena kami tak mampu, namun karena waktu yang tak mengijinkan kami seperti itu, karena waktu akan selamanya menuntunmu untuk selalu ke depan tanpa memandang kesiapan kita untuk bergegas melangkah di garis depan.
Aku membayangkan mereka akan menua bersama dan masih tetap utuh sedemikian adanya. Dan aku akan menjadi saksi setiap langkah perjalanan mereka. Ada yang jadi guru, adapula yang jadi seorang perawat, adapula yang jadi petani kaya raya, ada pula pengusaha, dan mereka akan tetap bersama, ahh semoga saja. Menjadi bagian dari mereka adalah sebuah perjalanan yang begitu menyenangkan. Kadang ada amarah kadang pula ada rindu. Bersama mereka ku belajar bagaimana menjadi orang yang dituakan (walau hanya karena usia) dan bagaimana menjadi seorang kawan yang baik bagi mereka.
Kau mungkin mengira bahwa aku adalah orang yang mudah terbawa suasana, tidak salah. Ku tulis ini saat malam mulai gelap. Duduk di beranda rumah sambil menikmati kopi yang sengaja kuseduh tanpa gula. Bukan karena takut diabetes atau semacamnya namun lebih karena ku coba belajar membiasakan diri untuk berpait-pait ria. Karena tak selamanya manis itu nikmat, seperti halnya kopi ini. Dan kotak kenanganku kembali terbuka ketika tanpa sengaja jariku menyentuh album di layar handphoneku dan menemukan deretan foto kemerdekaan yang lalu.
Setidaknya terima kasih untuk beberapa tahun ini, karena kalian ku dapat merasakan bagaimana indahnya kebersamaan, walau terkadang menjengkelkan.
-baja04-
Takut
Aku takut memandang wajahmu
kata orang, cinta pandangan pertama
dan aku orang yang mudah menitipkan rasa
meskipun tak selalu berbalas, aku menikmatinya
Aku takut melihat mata sayu milikmu
bukan sebuah kebetulan jika ada peribahasa “dari mata turun ke hati”
bukankah mata adalah pembunuh paling sempurna?
mata jua yang memaksa hati untuk menitipkan asa dan harapan pada insan yang lain
saat semua hanya ilusi semu, maka lara hanya hati yang menanggungnya
“sayatan yang sempurna dan rasa sakit yang paripurna” gumam hati dalam sesaknya nestapa
Aku takut kamu tersenyum padaku
karna satu senyum berbilang makna, beratus kata yang dirangkum,
beribu makna terselubung, bahkan sejuta dendam tersembunyi di gelapnya sanubari
Aku takut kenal kamu
dengan mengenalmu akan membuatku bertindak jauh
terkesan kebablasan, bahkan sedikit urakan
pin BB, nomor hape, hingga ukuran sepatu
Aku takut untuk “biasa” denganmu
cinta selalu dimulai dari cita yang biasa,
angan yang biasa hadir dalam mimpi,
hingga pertemuan biasa yang tak sengaja
bukan pertemuan yang aku sesalkan,
namun rasa tak biasa di saat tatap muka
rasa tak biasa dan melanglang buana menembus mega dan menelusup ke dalamnya pembuluh vena dan aorta
itu menyiksa, Kekasih
Aku takut kamu kagum dengan kebaikanku, kemurahan hatiku
karena suatu hari nanti, kamu akan marah dengan sikapku yang tak bisa berkata tidak kepada semuanya
Aku takut kita pacaran
nanti kan berujung pertanyaan kapan lamaran
bukannya aku tak ingin memberi kepastian, Kekasih
pengetahuanku berbatas bahwa kepastian adalah Tuhan
dalam Tuhan kepastian hadir, dalam kepastian Tuhan ada
jelas bukan, Kekasih? aku mampu bersamamu hari ini
namun entah esok, lusa dan seterusnya
aku fana, tak berdaya dan tua
Aku takut kita berteman
teman selalu berujung dekat
dekat berakibat melekat
hingga tiada sekat
lalu akan tiba masanya kita saling menghindar
demi menjaga sebuah ikatan yang dinamai “sahabat”
Aku takut menikahimu
titah guruku, menikah itu nasib, mencintai itu takdir, kau bisa rencanakan menikah dengan siapa, namun tak bisa rencanakan cintamu untuk siapa
aku berencana menikahimu, namun jika saat cinta hadir dan ternyata bukan untukkmu, bajingan kah diriku, Kekasih?
lalu kamu menggila, berteriak “bukankah kamu berjanji di hadapan orang tuaku? dihadapan Tuhan? bahwa kita akan bersama?”
“kamu menikahiku karna kamu cinta padaku, to? aku milikmu, kamu milikku?”
ini membuatku khawatir, Kekasih
kita akan saling “mendasarkan” segala hal pada “cinta”
aku cinta padamu, maka aku menikah denganmu
jika aku lupa tanggal ulang tahunmu, maka aku tak cinta (lagi) padamu
uang yang kubawa tak cukup untuk beli gincu, aku tak cinta padamu
si sulung menangis minta layangan online, aku tak cinta padamu
bertemu kawan lawas, sedikit lebih lama untuk melepas rindu, itu juga artinya tak cinta padamu
Aku takut untuk hidup bersamamu, satu atap, satu tempat yang sama
kamu akan mulai rewel tentang cucian kotor, hujan yang tak berhenti dan parfum baru yang kubeli
Aku takut menua bersamamu
akan tiba saat kita sama-sama cerewet soal waktu
waktu yang cepat berlalu
tentang waktu yang tak memberi kesempatan
kita jadi insan yang tak berterimakasih
bukankah waktu jua yang buat kita beremu, sayang?
Namun...
Aku takkan pernah takut untuk bercerita
mendaras puisi, melenggokkan kanvas, hingga memuntahkan monolog
yang tentu saja tentang kamu, Kekasih
Cerita tentang kamu yang tak pernah membuatku takut
perkara kamu milikku atau tidak
bersamaku atau bersama insan lain
tak jadi soal
Sudah kubilang, cerita tentangmu tak pernah menakutiku.
*Sajak sederhana milik kawan lama, barang kali berkenan berjumpa melalui akun pribadinya, Fahmi Muhammad Fadhel
Nyawaku Ada Padamu
Aku ingin bercerita, sebentar saja.
Pagi ini telepon berdering nyaring dan aku pun terbangun aring. Berharap itu dari kamu, tapi bukan. Seorang lelaki yang menelepon meminta agar ku mau menjadi hakim, sebuah perkara berat, katanya. Aneh, begitu kata yang terlintas dibenakku. Aku seorang hakim? Dan yang lebih aneh lagi, aku menyanggupinya.
Ada orang mengetuk pintu, aku kira itu kamu, tapi bukan. Seorang kurir mengantar paket. Aku masih berharap itu paket dari kamu, tapi bukan juga. Tertera nama pengirim Soekotjo Tjokrowardono. Penasaran, aku sama sekali tak mengenal sederet nama itu. "NYAWAKU ADA PADAMU" begitu kalimat pertama yang tertulis pada kertas yang ada di dalam.
![]() |
NYAWAKU ADA PADAMU Mas,
Salam hormat, mungkin saya lancang telah berani mengirim surat ini pada mas. Tapi saya tak ada pilihan lain. Hanya mas yang bisa menolong saya. Beneran mas,hanya mas yang bisa menyelamatkan nyawa saya dan keluarga. Kasihanilah kami mas, kasihanilah anak kami, yang besok baru saja akan berulang bulan ke-10. Suami saya sudah pergi entah kemana. Masak mas ndak kasihan sama janda muda seperti saya? Jadi, saya harap mas mau membantu saya menyelesaikan masalah saya.
Sebelumnya saya mohon maaf karena tidak berani menjumpai mas secara langsung, hanya melalui telepon, itu saja bukan saya yang bicara, tapi paman saya. Hanya lewat surat ini saya berani bicara dengan mas. Saya orangnya pemalu mas ndak biasa berhadapan dengan orang seperti mas. Lagian ndak enak kalo dilihat tetangga, janda kayak saya bertemu dengan mas, maklum saja, wong cilik. Sangat berbeda dengan mas yang sudah terbiasa dengan orang-orang besar. Dari pejabat erte sampai provinsi.
pliss mas, bantu saya. Pokoknya saya ndak mau tau, aku padamu mas. Beneran hanya kamu yang bisa bantu saya mas. Pokoknya kamu mas beneran kamu.
Saya akan sangat berterima kasih jika mas membantu saya. Apapun yang mas minta akan saya turutin asalkan masalah saya ini selesai. Masalah perlengkapan dan biaya tenang saja mas, walaupun sedikit tetap ada, jadi ndak usah bingung. Pokoknya saya minta tolong sama mas.
Oh ya mas, maaf kalau paketan ini bukan tertulis nama saya. Itu nama paman saya yang tinggal di luar kota. Saya takut mas ndak mau nerima kalau paketan ini tertera nama saya, seperti yang sudah-sudah.
Nyawaku ada padamu mas. Pokoknya semua kuserahkan padamu. Sebagai penunjang kinerja mas agar maksimal sengaja kubelikan senjata baru mas. Jangan dilihat mahal murahnya, tapi lihatlah niat tulusku memberikan itu mas.
Pokonya nyawaku ada padamu mas. Kamu harus datang sebelum pukul tujuh pagi mas. Kalau tidak berarti kau membunuhku, juga membunuh anakku. Apa kamu tega mas sama aku?
Sekian mas, pokoknya aku tunggu hari sabtu sebelum pukul tujuh.
Salam manis dari saya, sekretaris lomba tarik tambang.
Oh ya mas, sempritan baru pemberianku jangan lupa dipakek ya!
"mas anakku menunggumu,"
-jupe, janda anak satu-
Hujan dan Ketidakpastian
Ku tulis saat hujan tengah deras-derasnya turun, basahi hati yang tak jua isi.
Ku berharap kau tak membaca ini, meski itu adalah hal yang mustahil. Aku tau kau diam-diam sering singgah ke sini meski hanya sekedar mengintip dari celah jendela. bahkan sering singgah di beranda depan saja. Iya, hanya diberanda depan saja, tak lebih. Sepertinya ada suatu hal yang membuat kau enggan masuk ke dalam, dan hingga kini tak jua kutemukan sebabnya.
Malam ini terlalu berisik. Kepalaku penuh dengan suara hujan dan suaramu. Sepertinya rindu sedang bertamu. Aku memang pelupa, namun jika tentangmu aku pengingat sempurna. Jangankan suaramu, senyum kecilmupun dengan sangat mudah ku kenali walau harus terpejam sekalipun. Bagaimana aku bisa lupa dengan senyum dan suara yang membuatku lupa segala. Lupa akan kesendirianku, lupa akan kekuranganku, lupa jika aku sedang jatuh cinta padamu.
Terkadang aku sering melamunkan kita yang tak kunjung bersama. Aku yang selalu menunggu kepastian dengan penuh harap dan kecemasan. Berbicara kepastian kadang pula terlintas dalam benak, mengapa aku sampai di sini dan sampai kapan? Stagna ditempat tak jua ada perubahan. Menunggu dan selalu saja hanya menunggu.
Ya, kepastian adalah sesuatu yang dinanti oleh banyak orang bodoh yang mau menunggu. Sedangkan ketidakpastian juga berarti sebuah kepastian jua, kepastian bahwa kita harus mulai pergi dan melupakan sebuah harapan yang begitu menawan. Lantas bagaimana dengan ku? Aku diantara keduanya, menanti kepastian darimu yang tak jua kunjung datang.
Mungkin sesegera mengahiri harapan adalah jalan terbaik sebelum harapan-harapan ini lebih mengakar dalam perasaan bersalah. Bersalah karena harus mempercayai harapan yang selama ini ku anggap sebuah kebenaran, dan bersalah karena harus menipu diri sendiri. Ada banyak hal yang seolah dapat kugenggam ternyata fatamorgana, dari jauh jelas terlihat, semakin dekat semakin sirna. Seperti halnya kamu, Dari jauh terlihat semakin dekat menghilang.
Percayalah, luka sebuah penolakan lebih kering dari luka ketidakpastian. Dan aku akan tersenyum lega jika kau mau memastikannya, walau itu sebuah penolakan. Kau tak pernah tau isi hati seseorang yang mencintaimu, sebelum kau benar-benar ada di dalamnya.
Semoga kau terlelap berselimut hujan dan tak sempat membacanya...
Semoga kau terlelap berselimut hujan dan tak sempat membacanya...
Subscribe to:
Posts (Atom)